Rabu, 09 November 2016

Kamis, 03 November 2016

Cerpen Nomor 10

Buruh Cuci


Pagi itu sinar mentari hangat menerpa bumi. Kicauan burung seakan turut mewarnai pagi. Kubuka tirai jendela yang menghalangi pandangan untuk melihat keadaan di luar. Rupanya belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Hanya ada beberapa orang yang berlalu sambil mengayuh sepeda tuanya. Jam dinding masih menunjukkan pukul tujuh. Aku baru saja terjaga dari tidurku.
“La, bangun! Ibu berangkat ke pasar dulu. Nanti tolong antarkan cucian ke rumah bu Yeni” teriak ibu yang mungkin sedang berada di dapur.
“Iya bu” jawabku dengan suara yang masih serak.
Seperti biasa setiap hari minggu aku disuruh mengantarkan cucian ke beberapa tempat langganan ibu. Ya, ibuku hanyalah seorang buruh cuci yang tidak setiap hari mendapatkan gaji. Penghasilan ibu hanya cukup untuk makan kami sekeluarga, terkadang juga masih kurang. Ayah mencoba mengais rejeki menjadi seorang kuli bangunan demi biaya sekolahku dan adik. Tetapi syukurlah, Tuhan selalu memberikan jalan bagi hambanya yang mau berusaha. Kami sekeluarga memang hidup pas-pasan, tetapi kesederhanaan dalam keluarga kami terasa membahagiakan.
Sekitar pukul sembilan pagi, aku berangkat ke rumah bu Yeni dengan menenteng beberapa baju cucian. Kupacu gas motor sedikit cepat. Biasanya aku menggunakan sepeda pancal untuk mengantarkan baju-baju itu. Akan tetapi karena hari ini sedang mager alias malas gerak, maka aku memilih melaju cepat bersama asap motor. Selesai dari rumah bu Yeni aku berencana ke rumah Vera untuk menyelesaikan beberapa tugas sekolah.
Tut.. tut.. tut. Ponselku berdering. Satu pesan masuk dari Vera.
“Lala cepatlah ke rumahku, tugas sudah menunggu”
Setelah kuserahkan baju-baju milik bu Yeni, aku segera meluncur ke rumah Vera. Menyusuri aspal hitam yang diselimuti debu. Pepohonan di tepi jalan sesekali melambai-lambai diterpa angin. Sinar mentari yang tadinya hangat kini sudah berganti panas yang cukup membakar kulit. Sang raja siang sepertinya sudah sampai di tengah perjalanan. Kulihat beberapa warga desa masih asyik bergulat dengan lumpur, sebagian lagi ada yang sedang beristirahat di gubuk yang memang sengaja dibuat untuk sejenak melepas lelah. Rasa panas ataupun lumpur yang menerpa tubuh mereka seakan sama sekali tidak menghalangi semangatnya untuk bekerja. Itu semua mereka lakukan demi keluarga dan mungkin juga demi menyambung hidup.
Belum sampai di tempat tujuan aku bertemu dengan seseorang. Kaya dan sadis, begitu tetangga sering memanggilnya. Aku sendiri tidak mengenalnya dengan akrab, tetapi yang aku tau beliau adalah seorang pekerja kantoran. Beliau termasuk orang yang cukup berada, namanya bu Rina, langganan ibu.
“Lala!!”
Mendengar namaku dipanggil dengan cukup keras, kuhentikan laju motor, menepi. Kulihat bu Rina mempercepat langkahnya menuju arahku.
“Iya, ada apa bu?” jawabku sambil melihat beberapa baju di tangan kanannya.
“Oh mungkin akan dititipkan untuk dicuci” pikirku.
Wajah bu Rina terlihat tegang sebelum ia melontarkan beberapa pertanyaan.
“Kamu Lala kan, anak tukang cuci itu?”
“Benar, ada apa bu?” tanyaku sedikit penasaran.
Entah apa yang ada dalam fikiran bu Rina, baju yang ia bawa tiba-tiba dilemparkan tepat di wajahku. Kaget, bingung, marah, ingin teriak, seakan semua ingin kulakukan secara bersamaan. Tapi apa daya, aku hanya bisa terdiam, mematung.
“Tukang cuci tidak becus. Kenapa beberapa baju saya bisa rusak seperti ini. Ini baju mahal, bahkan lebih mahal dari motor butut kamu. Memangnya kamu bisa mengganti?”
“Maaf bu, saya tidak tau apa-apa tentang baju itu.”
“Baju itu robek semuanya, kamu tidak lihat?”
“Ibu saya juga mencuci seperti biasa. Mungkin memang baju itu sudah rusak sebelumnya, atau…”
“Atau apa, atau memang ibu kamu sengaja merusaknya. Dasar tukang cuci, miskin!”
Tidak terasa air mataku menetes. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya. Inikah perlakuan yang pantas untuk orang miskin seperti aku? Inikah penghargaan terbaik untuk seorang buruh cuci seperti ibuku? Cacian, hingga jatuhnya harga diri apakah harus diterima dengan besar hati? Kuambil baju yang berserakan di depanku. Memang benar, kulihat ada bagian baju yang robek. Kuurungkan niatku pergi ke rumah Vera. “Vera maaf, aku ada kepentingan mendadak, tidak bisa datang ke rumah kamu”
“Oke deh.” Jawab vera di seberang sana. Setelah menutup telepon. Aku berbalik arah, kembali ke rumah.
Sesampainya dirumah kuceritakan kejadian yang kurang mengenakkan tersebut kepada ibu. Ibu hanya tersenyum.
“Sudahlah nak, bu Rina memang seperti itu orangnya. Jangan diambil hati” tutur ibu.
Oh ibu, kenapa setiap pengaduanku kau balas dengan rasa kesabaran yang begitu mendamaikan jiwa, seakan amarahku yang ada diubun-ubun melebur seketika.
“Coba ibu lihat, apakah baju itu benar-benar rusak karena ibu?”
“Tidak. Ibu rasa baju ini masih baik-baik saja kemarin.” Jawab ibu sambil melihat baju bu Rina.
“Besok ibu akan mengembalikan baju-baju ini, mungkin saja ini salah paham”
Keesokan harinya setelah mengantarkan adik ke sekolah ibu dan juga aku pergi menemui bu Rina. Tidak lupa beberapa helai baju robek milik bu Rina juga turut ibu bawa. Kebetulan aku libur sekolah hari itu.
“Permisi.”
“Iya, sebentar” jawab seseorang dari dalam ruangan. Suara itu tidak asing lagi. Ya, itu suara bu Rina.
“Ada apa pagi-pagi datang kesini? Sudah bisa mengganti baju saya?” tanya bu Rina dengan ketus.
“Bu Rina, kedatangan saya ke sini untuk mengembalikan baju-baju ibu kemarin. Sepertinya disini ada salah paham. Kemarin sewaktu saya mencuci baju ibu, baju-bajunya masih baik-baik saja dan saya pun juga mencuci seperti biasanya, tanpa mesin cuci.”
Mendengar penjelasan ibu, bu Rina semakin marah. Aku hanya terdiam mendengar ocehan-ocehan bu Rina yang semakin kesana-kemari, dan sekali lagi ibuku hanya tersenyum santai menanggapinya. Ah, katanya ia orang kaya. Bukankah pundi-pundi rupiahnya banyak. Lalu kenapa baju robek saja dipermasalahkan sedemikian rupa. Apa karena itu baju wasiat atau semacam baju keramat. Apakah dengan robeknya baju itu sebagian hartanya akan menghilang? Konyol.
Beberapa menit kemudian suasana semakin memanas. Pembicaraan dua wanita paruh baya itu layaknya debat antar pejabat negara, tidak ada yang mau mengalah. Sepertinya emosi ibu sudah naik. Di luar ruangan terlihat beberapa warga yang memperhatikan. Sesekali sebagian dari mereka saling berbisik. Malu, sudah pasti aku merasakannya. Tiba-tiba sosok gadis cantik berambut sebahu menampakkan hidungnya dari balik pintu di sudut ruangan. Tina, anak bu Rina keluar menghampiri kami dengan sedikit bingung.
“Ada apa bu, berisik sekali?”
“Baju ibu rusak gara-gara tukang cuci ini.” jawab bu Rina sambil menunjuk ibu. Ingin rasanya aku menerkam jari telunjuk itu layaknya singa yang menerkam musuh. Dia wanita terhebat dalam hidupku, dia ibuku. Ibu yang tidak pantas dihina oleh siapapun.
Tina yang melihat beberapa baju berserakan di meja tiba-tiba tersentak kaget. Ia seperti mengingat sesuatu tentang baju itu. Ah, semoga saja Tina tidak ikut-ikutan marah layaknya bu Rina. Suasana hening seketika.
“Sepertinya ibu selalu melupakan sesuatu.” kata Tina mengagetkan lamunanku.
“Kamu pikir ibu sudah pikun. Memangnya ibu lupa apa?” jawab bu Rina ketus.
“Bukankah baju itu yang ibu pakai pergi ke pasar? Ibu bilang sepulang dari pasar ibu tertabrak becak hingga baju itu robek. Untuk baju yang yang satunya lagi memang sudah robek sewaktu Tina pinjam untuk pementasan drama di sekolah.”
Mendengar penjelasan dari putri semata wayangnya wajah bu Rina terlihat memerah, entah karena malu atau karena apa. Tanpa basa-basi ia menyeret tangan Tina sambil membawa baju-bajunya. Ditutup pintu kamar dengan keras. Entah apa yang terjadi di dalam sana, yang jelas semua tidak akan sesadis kasus pembunuhan. Aku pun segera pulang bersama ibu.
Sepanjang perjalanan pulang aku dan ibu hanya diam, bergelut dengan pikiran masing-masing. Hanya karena baju robek masalah bisa sedemikian rumit. Mungkin itulah hidup. Banyak hal kecil yang dibesar-besarkan, dan ada pula yang justru sebaliknya. Sebagian waktu di hari itu telah tersita demi menyelesaikan satu masalah.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku mendengar cerita tidak mengenakkan dari salah satu tetangga. Langganan ibu juga jarang yang datang ke rumah. Sudah pasti penghasilan ibu menjadi berkurang, bahkan tidak berpenghasilan. Akhirnya ibu terpaksa mencari pekerjaan yang lain demi uang saku adik ke sekolah untuk sementara waktu. Awalnya bapak tidak mengetahui masalah ini. Aku dan ibu juga berjanji tidak akan memberitahunya. Entah siapa yang membocorkan, tiba-tiba suatu malam bapak marah sangat marah kepada ibu. Mungkin bapak mengira aku dan adik sudah terlelap bersama mimpi-mimpi indah. Tetapi aku bahkan belum bisa memejamkan kedua mataku. Bersama heningnya malam, aku mendengar tangisan ibu di kamar sebelah. Ingin rasanya aku berlari dan memeluk ibu, setidaknya itu dapat menenangkan. Namun itu tidak akan pernah terjadi. Bapak akan sangat marah apabila ada anaknya yang ikut terlibat dalam pertengkarannya bersama ibu. Maafkan aku bu. Aku bahkan tidak bisa mengusap air matamu.
Hembusan angin malam semakin membuat tubuhku menggigil. Suasana rumah sudah sepi. Terdengar suara pintu tertutup dengan keras lalu dilanjutkan dengan deru mesin motor. Bapak pergi entah kemana. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Hampir tengah malam.
“Bu, apakah ibu sudah tidur?” tanyaku dengan lirih. Lama tidak ada jawaban. Ingin rasanya melihat ibu di kamar akan tetapi keberanianku tidak mampu melangkahkan kakiku untuk menuju kamar ibu. Apakah ibu sudah berhenti menangis? Apakah wajah ibu lebam seperti pertengkaranya waktu itu?
Pagi hari setelah pertengkarannya dengan ibu, bapak masih belum terlihat di rumah. Motor yang biasanya pagi-pagi sekali diparkir di halaman juga tidak ada. Entahlah. Aku terlalu sibuk, tidak sempat untuk memikirkan keberadaan motor.
“Lala, Yeni, sarapan dulu nak”
“Iya bu.” Sahut Yeni. Aku dan adikku segera berlari menuju dapur. Beberapa sendok nasi dan lauk seadanya telah meluncur memenuhi sebagian perutku. Tidak lupa satu gelas air putih mengalir lancar melewati sela-sela tenggorokan. Masih terlalu pagi untuk berangkat sekolah. Seusai sarapan aku duduk di teras rumah. Menikmati udara pagi yang sejuk khas pedesaan, tanpa asap motor ataupun bisingnya suara kendaraan yang berlalu-lalang. Dari jauh terlihat sesosok lelaki dengan motor hitam menuju arah rumahku. Bapak. Syukurlah, ia sudah kembali ke rumah.
“Dari mana pak?” tanyaku.
“Cari angin.” Jawabnya singkat sebelum ia memasuki rumah. Bapak memang bukan orang yang banyak bicara, tetapi beliau tetaplah seorang bapak yang dapat menjelma menjadi seorang pahlawan bagi anak-anaknya.
Tidak lama kemudian bapak keluar untuk mengantarkan adik berangkat ke sekolah. Aku masih saja bersantai di teras, karena memang jarak sekolah cukup dekat dengan rumah. Biasanya aku berangkat lima belas menit sebelum jam pelajaran dimulai. Setelah bapak berangkat, tiba-tiba datang dua orang perempuan. Berwajahkan aneh, boleh dibilang sedikit memelas. Aku terperanjat kaget. Ingin rasanya pura-pura tidak tau dan lari ke dalam rumah. Namun ibarat nasi sudah menjadi bubur. Dua wanita itu sudah berdiri tepat di depanku.
“Selamat pagi” sapa salah satu perempuan itu.
“Selamat pagi. Ada apa ya?” tanyaku dengan sedikit kebingungan.
“Bapak dan ibu kamu ada?”
“Ada. Mari, silahkan masuk.”
Setelah keduanya aku persilahkan duduk, akhirnya kedua wanita itu mengutarakan niatnya. Ibu dan bapak juga turut duduk di ruang tamu. Kedatangan mereka tidak lain adalah untuk meminta maaf. Siapa lagi kalau bukan bu Rina dan anaknya. Bu rina membuka pembicaraan panjang lebar. Kejadian kemarin merupakan suatu kesalahan yang memalukan, kata bu Rina.
“Tidak apa-apa bu, kami semua sudah memaafkan kejadian kemarin” kata ibu disela-sela pembicaraannya.
“Sekali lagi kami minta maaf, saya benar-benar tidak tahu jika baju itu sudah robek sebelumnya, saya sudah terlalu emosi. Jika ada fitnah yang membuat langganan ibu tidak ada yang kesini, sungguh saya meminta maaf kepada keluarga ini. Kejadian kemarin semoga tidak memutuskan tali silaturahmi di antara kita pak, bu.”
“Bu Rina, kita semua adalah tetangga. Tidak baik bila salah satunya menyimpan rasa dendam. Masalah yang sudah berlalu jangan diungkit-ungkit. Kami semua sudah memaafkan ibu” Kata bapak.
Apakah bapak benar-benar sudah melupakan kesalahan bu Rina dan memaafkan begitu saja, ataukah bapak hanya melupakan sejenak demi menjaga tali silaturahmi? Bu Rina, anda orang yang cukup terpandang di desa ini, kaya, dan seakan hidup anda sempurna. Lalu bagaimana mungkin anda bisa berbuat demikian kepada keluarga kami. Semua langganan ibu pergi. Ibu harus mencari pekerjaan lain dengan susah payah hanya karena masalah ini. Apakah ibuku pernah merusak kedamaian hidup anda? Sungguh keterlaluan. Lantas bagaimana dengan air mata ibu yang terlanjur menetes di tengah gelapnya malam, hatiku turut merasa sakit. Bapak marah dan menganggap ibu wanita tidak pecus. Itu semua karena masalah yang anda buat bu Rina. Bukankah anda yang lebih miskin disini? Miskin hati. Lalu sekarang anda datang pagi-pagi untuk meminta maaf dengan begitu mudah. Ini tidak adil.
Ibu tertunduk. Semuanya diam. Aku pun terdiam dengan banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran.
Cerpen Nomor 9:

Gara Gara Amplop



“hei, hei, anak baru, siapa nama lo?”
“nathan”
“setan? Buset dahh, yang gue tanya nama bukan wujud lo.”
“nathan woi, nathan”
“oh, santan, lo blasteran, ya?”
“iya, ayah gue dari inggris, ibu gue dari madura, takye”
“pantesan muka lo mirip mr.b ean gitu”
“lucu, ya?”
“idiotic”
“jangan mengobrol di jam pelajaran saya”. Seketika itu gue pun terdiam, tertunduk malu, membisu. Terdengar kikikan kecil menahan tawa.
“kikikikik” tawa kecil yang seakan sedang mengamatiku, menunggu gue lengah dan menerkam.
“eh santan, nama gue nico, salam kenal, ya”
Gue masih terdiam, tak mau menatap, gue seakan lagi bermain pura-pura mati yang sedang berhadapan dengan seekor harimau buas yang sedang lapar, gue harus fokus dan mendalami karakter gue sebagai.. Orang mati agar gue tak dimangsa olehnya, tak percuma gue pernah main film layar lebar, walau Cuma jadi maling ketangkep. Gue angkat tangan gue menandakan oke ke nico. Tak ingin gue abaikan senyuman manis di bibirnya.
Belum genap satu jam gue berada di ruangan ini, gue sudah mengalami dua nasib yang berbeda. Gue Tak menyangka akan berhadapan langsung dengan guru terkiller dalam sejarah ketamandunan sekolah ini. Sekolah negeri acak adul. Takdir memaksa gue untuk selama 3 tahun kedepan harus mendiami sekolah busuk ini, busuk? Kenapa busuk? Gue gak tahu, mungkin karena gue sudah muak dengan namanya sekolah dan rutinitas yang mengkungkung gue dalam kebosanan sebagai seorang pelajar. Tapi hari ini berbeda, hari ini begitu cerah, begitu sejuk. Senyuman ketusnya yang membuatku merasa sekolah busuk ini seakan taman penuh bunga yang harum mewangi. Takdirlah yang memaksa orangtua gue untuk menetap di sini, takdirlah yang membuat gue berada disini, takdirlah yang menuntun gue agar masuk ke sekolah ini, dan oh takdir kenapa kau buat perut gue seperti ini disaat yang tidak tepat, saat senyumannya hadir menyapa. Oh iya, nasi goreng tadi pagi, nasi goreng tak biasa dari bu yanti, tempat sarapan biasa gue, beliau sedang uji coba resep dari chef juna dan gue yang pada awalnya merasa bangga menjadi pelanggan pertama mencicipinya harus menanggung akibatnya sekarang, perut gue membludak bak krakatau yang tak kuat menahan gejolak magma di dalamnya. Ini tak bisa dibiarkan, rasa tak tahan ini perlahan menjajah gue, dan ini harus segera dihentikan, sebelum keceplosan.
“bu saya mau izin keluar, darurat”
“emang kamu mau ngapain?”
“please bu, jangan kepo, ini darurat” entah apa yang telah gue lakukan, gue seketika menjadi alay, apakah ini dampak kalo kita sedang dalam kondisi kritis? gue tak bisa mengkotrol apa yang gue katakan, kata-kata itu terlintas begitu saja.
“oh begitu, ya sudah, kamu gak saya izinkan”,
“waduh bu tapi”,
“gak ada tapi, kamu gak boleh ke luar sebelum jam pelajaran selesai”,
Tamat. Hidup gue tamat. Sampai kapan gue bisa menahan panggilan ini? Konyol, ini konyol sekali dihari pertama sekolah gue harus melakukan perbuatan mengerikan seperti ini.
“hei, santan, emang lo mau ngapain? Kebelet ya? Hihi”. Gue mencoba menjawab sebisa gue, mengaturnya agar tak terjadi tindakan kriminal yang membuat hidup gue gawat. Gue Cuma bisa mengangguk. Gue Cuma bisa mengharapkan mukjizat datang sehingga ibu guru yang tak berprike-belet-an di depan ini bisa pergi menjauh dari hadapan gue.
“anak-anak buka buku halaman 171, dan kerjakan tugasnya, ibu mau ke ruang kepala sekolah”, apa ini? Miracle macam apa ini? Sejenak setelah gue memikirkannya kenapa kejadian ini terjadi? Kesempatan ini tak boleh gue lewatkan. Secepat kilat setalah dia pergi, gue pun langsung ngacir keluar kelas. Layaknya seorang tentara yang sedang diberi mandat untuk menyelesaikan misi, misi penting bagi gue. Namun sayangnya tentara tak seharusnya pergi tanpa peta. Gue baru di sekolah ini, dan gue tak pandai dalam membaca tempat, sekolah ini cukup luas buat gue untuk tersesat dan lupa jalan pulang.
“kalo wc ada di bawah sana” tanpa basa-basi lagi gue langsung menuju tempat yang ditunjukkan olehnya. Gue bahkan tak menoleh saat dia memberi petunjuk tadi, sungguh tak sopan perbuatan gue.
“gimana? Lega, ya?”
“lega! nico? Ngapain lo disini? Lo ngintipin gue ya?”
“enak aja, gue juga punya selera kali, lo harusnya terima kasih” oh iya, gue memang tak menoleh tadi, tapi suara lembut itu gue ingat.
“oh iya, thanks ya, gak masuk?”
“sudahlah, kita ke kantin yuk, lo kan gak baru disini jadi biar gue kasih tau tempat makan yang asik”
“lah, tapi guru tadi?…” tak selesai gue berbicara gue langsung diseret olehnya, sungguh perempuan yang energic. Gue pun terpaksa mengikutinya.
“nih, lo harus coba nasi goreng disini. Tjakep dah pokoknya”.
“nasi goreng? Oh no, gue troma, ntar kebelet lagi”
“haha beda lah, ini lebih super lagi”
Dari kejauhan gue merasakan there’s something special yang lewat, dan dia pun menghampiri gue, gue gugup, siapakah sebenarnya dia? Tak pernah gue lihat parasnya. Namun, hati ini langsung berdetak, ya, itu karena gue masih hidup, tapi detakkannya begitu berirama bukan dangdut bukan pula seringai, inikah nada cinta?
“hei, lagi ngapain”
“lagi boker!” jawab nico ketus ke cewek itu, mereka saling kenal? Sepertinya iya, siapa yang tak kenal nico, cewek tomboy di sekolah ini, kebanyakan pria takut dengan dia. Bukan karena dia kuat, tapi lebih karena pesonanya, mungkin begitu, dan gue harap begitu.
“ih, jorok deh, hei, kenalin gue sarah, lo anak baru itu ya? lo temannya nico?” tanpa babibu cewek itu langsung menodong gue dengan sederet pertanyaan itu, gue terdesak, gue Cuma bisa mengangguk pelan. Seketika itu gue salah tingkah, sial, kenapa kebiasaan ini tak bisa hilang. Yang gue lakukan sekarang hanya melahap makanan yang terabaikan tadi. Gue merasa saat itu sekolah tak semenyeramkan yang selalu gue bayangkan. Dua peri cantik sedang berada di hadapan gue. Mimpi apa gue semalam.
“lo nanya mulu, kayak pembantu baru aja, nathan kenalin ini, sarah, sarah ini nathan”
“yo” jawab gue cuek, sambil masih mengunyah nasi goreng yang mantep itu. gue sebenarnya gak lapar, tapi kalo lagi grogi gue makannya suka banyak. Atau mungkin gue doyan. sarah merupakan teman baik dari nico, mereka selalu bersama dalam suka duka, berbagi segalanya. *quotedbyceribel
“nic, lo ingat kan boneka suju yang kemaren, itu lucu banget, gue pengen beli…” tak lama kemudian, pembicaraan beralih dari nasi goreng menjadi gosip tentang siwon dan konco-konconya itu. agak risih sih gue dengarnya, soalnya gue gak terlalu suka suju.
“suju itu keren, ya, soalnya kalo mereka konser pasti panggung rame, kayak lagi demo hehe” kata gue garing,
“oh” respon mereka berdua hampir bersamaan, gue merasa nasi goreng di depan gue sedang mentertawakan gue. Langsung saja mereka gue makan, ato mungkin gue doyan.
“oh iya, kita gak masuk nih?” tanya gue ke nico, karena gue baru sadar kalo gue udah setengah jam meninggalkan kelas, bisa-bisa mati gue diremuk ama guru killer itu, kalo ketahuan gue lagi nongkrong disini.
“ah tenang aja, gak usah takut, ibu itu lagi sama pacarnya, biasanya sih lama, tuh liat” kata nico sambil menunjuk ruang guru, terlihat ibu itu sedang bersama seorang lelaki paruh baya dengan setelan jas rapi, lengkap dengan dasi khas seorang eksekutif muda, tak lupa ramput yang diatur bela pinggir style andika kangen band, sungguh gaul.
“kok lo bisa tau?” tanya gue bingung
“ya iya lah, yang nyuruh cowok itu datang kan gue, dia itu sepupu jauh gue, gue sering nyuruh dia kesini kalo gue lagi bete di kelas”.
“lo ngelakuin ini buat gue?”
“jangan ge er an deh, kan dah gue bilang kalo gue bete”
“waduh thanks berat yah, gue traktir deh hari ini.”
“beneran? Bu, bungkus dua ya?” sarah langsung mengambil kesempatan.
Pembicaraan ini pun berakhir seiring bunyi bel msuk pun berbunyi.
Setelah beberapa hari disekolah ini, gue mulai membiasakan diri dengan lingkungan, dengan tingkah nico yang sering keluyuran pas jam pelajaran, dengan obsesi si centil sarah sama suju yang buat kepala gue pusing, sampai amukkan beringas dari si guru killer, gue udah mulai terbiasa sekarang.
“nic, udah belajar belom buat ujian besok?”, tanya gue ke nico
“emang ada ujian apa?”, sungguh polos tampangnya disaat akan ujian dari guru terkiller, dia bahkan tidak tahu itu ada.
“yaelah, pulang nanti kita belajar dulu lah”
“oke, tapi lo harus ikut gue ya”
“kemana?”
“want to knowww, aja hihi” kalo udah ngeliat nico seperti itu gue hanya bisa nurut apa keinginannya. Tak mau gue kacaukan kebahagiaannya.
Sepulang sekolah, anak-anak sudah pulang, tapi tidak untuk gue dan nico yang masih sibuk dengan soal-soal materi ujian dari si ibu killer.
“ah bete nih, gue ajak sarah yah”,
“bawa makanan”
“makan aja pikiran lo”. Nico memang tak terlalu pandai dalam bidang akademik, makanya gue harus menolongnya, tapi di sisi lain dia cukup jahil untuk melakukan perbuatan aneh yang menarik. Dan gue tak terbayangkan saat nico berimajinasi mau mencuri soal-soal ujian si ibu killer. Ah, what kind a joke is it.
“gimana, mau gak? kita pinjam sebentar doang, ambil soalnya, foto kopi, belajar di rumah, terus besok balikin, gampang, kan? Ibunya juga gak tau, kalo dia marah, kan gue bisa panggil om gue buat ngademinnya hehe, gimana?” liar sekali pikiran perempuan ini, tak sanggup belajar dia ajak gue untuk mencuri. Dan gue pun tak tahu kenapa menyetujui rencana itu, karena gue lihat itu cukup menarik, gue ingin melakukan sesuatu yang belum pernah gue lakuin sebelumnya. Tapi gue gak menyangka kejadiannya bakalan menjadi serumit itu.
“sekarang kita harus mengambil soalnya tanpa harus ketahuan oleh penjaganya” jelas nico layaknya seorang komandan perang yang sedang menyusun rencana penyusupan.
“lo pernah ngelakuin ini, nic?” tanya sarah khawatir, wajahnya pucat.
“belum” jawabnya polos.
“muke gile, lo mau nyari mati, kita masih amatir nih, ntar kalo ketangkep gimana?” gue mulai merasa pesimis,
“gue kasih tau ya, kalo mau dapat sesuatu yang belum pernah lo dapatkan, lo juga harus ngelakuin yang belum pernah lo lakuin” kata nico sembari membaca tulisan yang tertera di dinding kelas, gue sampai lupa slogan itu memang terpampang disana sejak gue masuk disini. Benar juga apa yang dikatakannya. Akhirnya gue pun hanya bisa pasrah dan mencoba optimis rencana ini akan berhasil. Sarah yang tadi pucat tiba-tiba menjadi bersemangat, tak gue sangka kata-kata nico bisa membangkitkan semangat kami, nico pasti punya gen mario teguh.
“lo pada tau kan apa yang harus lo lakuin? Nathan lo jaga pintu, kalo ada yang mendekat sebisa mungkin lo halangin, bagaianapun caranya”
“walau harus mati?”
“iya”
“siap kapten” gue sudah seperti seorang pasukan berani mati yang siap bertempur
“sarah, lo awasin nathan ntar dia kebelet lagi, hihi dan gue yang akan mencari dan mengambil soanya, oke?”
“oke kapten” gue gak tau kenapa sarah sangat bersemangat mengawasi gue,
Lima belas menit saat itu merupakan lima belas menit terlama sepanjang hidup gue, kalo nico ketahuan, gue mati. Penuh keringat gue demi tugas yang sepele ini. Dan akhirnya nico pun ke luar dengan dua amplop berada di tangannya. Dia berhasil, tapi kok ampopnya ada dua?
“kok dua?”
“gue gak tau yang mana, gue ambil aja dua-duanya yang ada di meja beliau, ya udah simpan nih dua-duan, kita tinggal balikkin dua-duanya kan?” nico mengatakan itu seolah semuanya segampang itu, tapi untuk saat ini, gue pikir tugas ini memang gampang. Setelah itu, kami bertiga berniat merayakan keberhasilan ini dengan makan siang bersama di kafe dekat sekolah, tempatnya nyaman, murah dan pastinya, wi-fi gratis. Setelah asik mengobrol, makan dan wi-fi gratisan di kafe tersebut kami pun pulang untuk mengerjakannya di rumah.
Namun, kebodohan gue membawa malapetaka, gue menghilangkan amplop berisi soal-soal tersebut.
“apa!!?” teriak mereka hampir bersamaan, dan gue yakin ini bukan saatnya untuk cengengesan gak jelas,
“sorri, gue lupa naronya dimana, kayaknya ketinggalan di kafe tadi deh, tenang-tenang, kalo hilang, lo bisa minta om lo buat ngobrol sama ibu killer itu kan, nic?” tanya gue mencoba menenangkan mereka.
“masalahnya, om gue lagi di luar kota, gak lagi disini”
“waduh gimana nih? Ini semua salah elo, kenapa lo bisa seteledor itu sih, kita kan jadi dalam bahaya gini” sarah pun semakin panik.
“sori sori, gue gak sengaja, kalo masalah ini selsai gue beliin lo boneka suju deh” bujuk gue agar sarah berhenti khawatir.
“ini bukan masalah boneka suju nathan”
“plus nasi goreng?”
“lo gak salah kok” muka sarah pun langsung berubah senang.
“ya udah sekarang gimana caranya tuh amplop balik lagi, kita cari di cafe itu dulu” gue pun mencoba menebus dosa gue dengan berusaha mncari amplop penuh masalah itu.
“mbak, lihat dua amplop warna cokelat gak tadi?” tanya gue ke pelayan di cafe tersebut
“oh amplop cokelat, yang ini mas?” dari kedua amplop yang dibawa nico satunya berisi soal, tapi yang satu lagi gue gak tau karena kami gak pengen bukanya, tapi amplop yang itu bukanlah yang kami cari, sepertinya tertukar. Disana tertulis nama seseorang, Jack, dan tiket kereta api keberangkatannya.
“ini plan b kita karena kita telah gagal menjaga amplop itu, plan nya kita harus ambil kembali amplop itu, kita sudah punya nama orang tersebut dan tujuan dia sekarang” kata gue meniru kata-kata di film-film laga, bukan laga indosiar.
“dimana?” tanya nico
“disini tertulis, kampung rambutan, bali”
“haaah? Kita akan mengejar dia sampai ke bali?” sarah yang tadi keliatan panik malah tambah panik, gue sekarang tahu gimana ekspresi orang panik yang lagi panik, sungguh aneh.
“oh, sori, itu tempat dia lahir, lo ada peta gak?” tanya gue serius ke nico
“ada nih, untung gue bawa” gue juga enggak tau kenapa gue bawa peta.
“kayaknya dia bakalan pergi kesini deh” kata gue sambil menunjuk satu kota yang namanya sama seperti tiket yang tertera di dalam amplop itu. untungnya keberangkatannya jam 8 malam, jadi kami masih memiliki waktu untuk menjemputnya dan menukarnya.
“oke jam 7 kita sudah kumpul disini, terus kita ke stasiun kereta api ini, terus temui orang itu”
“terus cara kita mengenali orangnya?”
“gampang, tulis aja di karton nama orang itu, terus lo jalan-jalan nyari orangnya, kayak orang bego, siapa yang mau peran itu?” tanya gue. mereka berdua tersenyum.
“siapa lagi, yang punya tampang idiotic” kata nico ngeledek gue.
“okelah, gue yang nyari nya, puas lo”, kami pun tertawa, lalu gue tertegun
“apa lagi yang lo pikirkan?” tanya nico yang sudah gak sabaran.
“plan ini namanya apa ya?” kata gue bego
“yaelah, gak penting juga kali, dasar idiotic” kami bertiga pun cengengesan kembali.
Setelah rencana tersusun rapi, kami pun berangkat ke stasiun yang dituju, gue sudah siap terlihat bego untuk malam ini, yah semua itu demi gue gak diremuk sama si ibu killer itu.
Setelah setengah jam muter-muter gak jelas, gue masih saja belum menemui orang tersebut, lalu gue melihat pacarnya si ibu killer, dengan nametag masih tergantung di leher layaknya mahasiswa baru di opdik, gue menghampiri dia.
“lah, kenapa ada nama saya disana?”
“lah, ini nama bapak? Beneran ini nama bapak? Bapak tadi makan di cafe dekat sekolah acak adul?” gue langsung membombardir bapak itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang bahkan bernapas pun dia tak gue beri kesempatan. Karena takut beliau sesak nafas akhirnya gue diam, memberi ruang dia berbicara.
“iya, itu saya, emangnya kenapa?”
“haduh, syukur pak, saya sudah mencari bapak dari tadi, ini, amplop saya ketukar sama amplop punya bapak” lalu gue menukar dua amplop itu dengan punya bapak itu, dan anehnya bapak itu pun tak menyadari bahwa amplopnya ketukar. Tak lama berselang, sarah dan nico datang
“sori, nath, gue telat. Eh, om J” kata nico
“lah, nic, lo kok gak kenal sama om lo sendiri” tanya gue kesal
“kan udah gue bilang om j ini saudara jauh gue, mana gue tahu nama lengkapnya jackurudin” dan akhirnya kami pun dapat membawa amplop itu ke rumah dan belajar untuk ujian besok.
Keesokan harinya gue dapat kabar kalo si ibu killer gak masuk hari, dia lagi cuti ada urusan mendadak ke luar kota. Dan ujian pun dibatalkan.
“ah sial, udah capek-capek kita ngambil soalnya eh malah dibatalin” kata nico bete
“ahah yah inilah akibatnya kalo mau berbuat curang” kami pun cengengesan,
“eh iya, amplop yang satu lagi itu isinya apa sih? Udah pada lo liat belum sih?” tanya sarah
“nah iya, gue juga belum liat tuh” kata gue dan nico hampir berbarengan
“kok barengan gitu? Ciyeee” muka gue pun memerah.
“sudahlah kita liat aja, nath, mana amplopnya?” nico pun mencoba mengalihkan pembicaraan.
“iye sabar, gue ambil dulu.” Gue pun mencari-cari amplopnya di tas gue
“eh, mana yah, kok gak ada?”
“APAAA”
Gue cuma bisa cengengesan gak jelas.
Cerpen Nomor 8:

Perjuangan Anak Tukang Gula Mendulang Juara



Jilbab putih menutupi wajah bundar, berkulit hitam manis, bertengger tahi lalat menghiasi pipinya yang lesung. Dengan kepolosan dan keluguannya mewarnai keayuan Siti Saodah. Ia rajin serta disayang kawannya. Terlahir dari seorang pedagang gula aren sebagai mata pencaharian pokok. Dari sanalah orangtuanya bisa membiayai hidupnya yang kembang kempis. Mereka hidup dibawah garis kemiskinan, hanya sesekali bisa mengais rezekinya.
Cidugaleun, kampung kelahirannya. Berada di bukit terjal di bawah kaki Galunggung, yang konon pernah memuntahkan lahar bebatuan di tahun 1982. Konon pula butiran-butiran debunya sampai ke Benua Kanguru.
Di sekitar gubuknya dikelilingi pepohonan aren nan menjulang ke angkasa.
Kokokan ayam membangunkan dia beserta keluarganya yang terlelap dari tidurnya. Dia bergegas ke “Pancuran” di belakang rumah untuk berwudhu dan mendekatkan diri kepada Alloh SWT, serta berdo’a semoga diberikan kemudahan dan kelancaran karena akan menghadapi Ujian Nasional. Tak lupa, dia selalu membuka buku-buku pelajaran karena dikenal juga dia “Si kutu buku”.
Siti pun menyiapkan sarapan pagi untuk mutiara yang paling ia kagumi, yaitu kedua orangtuanya. Sementara, mereka mencetak gula aren untuk dijualnya.
Setelah sarapan pagi selesai, Siti berkata kepada kedua orangtuanya:
“Ibu… Bapak… Alhamdulilah ya kita masih diberi rezeki oleh Alloh SWT.”
“Ia Nak, kita harus bersyukur kepada Alloh! karena Dia-Lah yang telah memberi rezeki kepada keluarga kecil kami ini.” Ujar Bapaknya
“Kita harus berterima kasih kepada-Nya. Berdo’a dan beribadah itu harus. Walaupun kita orang miskin, tetapi kita tidak boleh lupa yang namanya bersyukur dan beribadah.” Lanjut Ibunya
“Iya, Bu… Pak… Siti tidak akan lupa untuk beribadah kok.” Ujar Siti
Raja siang memancarkan sinarnya dari ufuk timur, diiringi gemuruh Curug Jajaway serta gemericik air yang turun dan menetes dari sela sela jemari akar pohon beringin yang sudah berjenggot. Kicauan burung dan kelelawar sahut menyahut bergelantungan menambah semangat langkah Siti Saodah besama kawannya menuju lautan ilmu.
Suatu hari yang mendung, mereka menatap ke langit sembari berdo’a karena turun hujan tak henti-henti bagaikan diteng-tengkan dari langit, disertai angin kencang, kilatan petir menyilaukan mata. Itu terjadi semalam suntuk.
Menjelang subuh, suasana sepi orang-orang enggan keluar. Awan, kabut, memutih tak tembus pandang, suasana dingin mencekam, pori-pori kulit berdiri merinding. Hati Siti Saodah mulai gundah gulana karena hari ini Ujian Nasional akan berlangsung. Ayahnya pun ikut cemas, dua mengurungkan niat untuk mengais rezeki demi anaknya.
Suasana alam tak bersahabat, dari kejauhan air bah terlihat melimpah, meninggi sepinggang orang dewasa, ternyata jembatan Cekdam yang akan dilalui terendam.
Bongkahan-bongkahan kayu yang muncul tenggelam, beriring berjalan sekali-kali terantuk bebatuan, suara air deras membuat merinding orang yang melihat.
Tapi tidak!!! Bagi Siti Saodah dan bapaknya, air bah harus dilawan dengan hati yang tenang. Waktu terus berjalan, jantung semakin berdetak Ujian Nasional pertama membayang-bayangi wajahnya. Dengan semangat pantang menyerah digendongnyalah anaknya, Siti Saodah. Selangkah demi selangkah kakinya bergetar terseok-seok air deras.
Bapaknya berkata “Nak! Pegang erat-erat pundak Bapak!”
Siti “Iya, Pak. Siti berdo’a semoga kita diselamatkan.”
Kaki Siti pun tidak tinggal diam, sekali-kai diterjangnyalah bongkahan-bongkahan kayu yang menghalanginya. Seraya mulut Siti terus tak henti-hentinya bergumam membacakan asma Alloh.
Perjuangan berat terasa ringan, itulah keluhan yang keluar dari mulut Bapaknya ketika sudah mendekati bibir sungai.
Siti pun bergegas berjalan dengan setengah berlari menuju “angdes” disana sudah banyak penumpang berjubel. Bahkan, anak laki-laki bergelayutan. Siti duduk dengan tidak nyaman, digeser-gesernyalah pantatnya ke badan ibu-ibu gemuk yang akan berbelanja ke pasar. Sementara mata Siti Saodah terus menatap jarum jam yang terus berputar. Hati kecilnya berbicara:
“Ah… Jangan-jangan aku kesiangan.”
Hati gelisah, jantungnya semakin berdebar-debar. Pikirannya seolah olah sudah duduk di kursi menghadap soal Bahasa Indonesia yang diUjiankan.
“Neng… SMP Neng?” Pak sopir menegur Siti Saodah
Dia terperanjat dari pelamunan, dia lari terbahat-bahat. Ternyata, Pak Satpam begitu ramah menyapa dan pengawas pun mempersilahkan masuk.
Siti pun memasuki ruangan dan siap melaksanakan Ujian Nasional. Dia mulai mengerjakan soal dengan baik dan memperhatikan apa yang salah dari jawabannya. Dia tak menyangka bahwa soal-soal yang diujiankan sudah ia pelajari sebelumnya.
Seperti biasanya, sepulang sekolah Siti selalu membantu kedua orangtuanya berjualan. Siti pun bergegas untuk berjualan, langkah demi langkah ia menitihkan kaku, bersuarakan merdu. Bertedukan matahari yang begitu terik, aspal sebagai pijakan pun begitu panas. Soalnya dua berjualan tepat pada pukul 13.30, tentu cuaca sangat panas. Badannya bercucuran keringat dan ia pun mulai bersuara lantang.
“Bu… Gula… Gula, Bu… Gula… Bu…”
Waktu pun semakin sore, gula habis semua. Dengan hati yang amat senang dia pun bergegas untuk pulang dan memberikan semua hasil jualannya hari ini kepada ibunya.
Disetiap hari-harinya dia selalu berdo’a agar dia lulus dengan nilai yang memuaskan dan dapat melanjutkan sekolahnya ke SMA, itu impiannya.
Tak lupa, Siti selalu mendo’akan orangtuanya agar mereka senantiasa dalam keadaan sehat.
Waktu bergulir sangat cepat, tak terasa pengumuman kelulusan tiba. Siti merasa tegang, deg-degan, keringat dingin di badannya, gemeteran sekujur tubuhnya, karena dia menunggu hasil kelulusan. Ketika ia melihat hasilnya, Subhanalloh… nilainya menjulang diatas bintang. Di samping itu, Siti dinobatkan sebagai siswi terbaik di SMP-Nya.
Siti segera pulang membawa kabar bahagia itu untuk kedua orangtuannya. Siti sangat senang, dia telah berhasil menghadapi ujiannya dengan lancar. Walau kadang ujian dari Alloh terus menghadang, tetapi dia sabar dan ikhlas.
Sesampainya di rumah Siti berteriak
“Ibu… Bapak… Siti lulusss.” sambil keluar air mata yang mengalir membanjir
Siti langsung menghampiri Ibu dan Bapaknya ke dapur. Kedua orangtuanya kaget melihat Siti menangis. Dia pun langsung merangkul kedua orangtuanya dengan penuh air mata kebahagiaan.
“Ibu… Bapak… Alhamdulilah aku lulus.” Ujar Siti
“Iya, Ibu dan Bapakmu senang mendengarnya.” Jawab Ibunya
“Iya, usahaku selama ini tidak sia-sia.” Ujar Siti
“Iya Nak, kamu bangun setiap pagi, puasa, pasti kamu mempunyai maksud. Alloh mendengarkan do’amu Nak.” Ujar Bapaknya
“Iya Bu… Pak, aky sangat bersyukur dan senang sekali.” Ujar Siti
Setelah lulus, kini Siti tinggal melangkah ke SMA. Berkat ketekunan, keuletan dan semangat yang diperjuangkan. Akhirnya Siti melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan hati yang senang Siti diterima di SMA N 1 Sariwangi.
Memang Perjuangan bukan hanya persoalan berkorban jiwa dan raga untuk impian visi yang hendak dicapai. Dan yakinlah Alloh SWT pasti menjaga hamba-hambanya yang memiliki kemauan keras untuk hidup.
Cerpen Nomor 7:

Janji Pada Hembusan Angin



“HAHAHA..!!” tawa terdengar dari dalam ruangan kelas itu. Suasana akrab antara sesama insan itu sedang terjalin. Selalu. Setiap saat. Tak pernah absen. Karena persahabatan itu abadi hingga nanti. Saat-saat yang paling dinanti. Menghapus penat yang menyesakkan hati. Masing-masing dari mereka saling merindu. Saling mencinta. Mencinta karena Allah. Meski tak satu pun dari mereka yang mengutarakan itu. Namun fakta telah membuktikannya. Suasana yang hurmonis dan saling membahagiakan senantiasa menghiasi diri mereka. Mereka belum beranjak dari tempat duduknya. Mungkin takut. Mungkin cemas. Mungkin ragu. Jika mereka beranjak, mereka selamanya tak bisa bersama..
“Mikum..” ucap seorang gadis bermata coklat berjilbab itu. “Mikum” itu merupakan singkatan dari Assalamu’alaikum. Haha, setelah sadar, dia membetulkan ucapannya.
“Assalamu’alaikum..” ujarnya. Nah, itu baru benar!
“Wa’alaikumsalam. Eh, siapa yah? Anak baru yah? Namanya siapah? Dari sekolah manah? Umurnya berapah? Tempat tinggalnya dimanah? Kesini naik apah? Sama siapah? Udah sarapan? Belum ya? Pasti belum. Di kantin ada nasi, bubur juga ada, terus omelet, burger, bakso. Tapi saran saya sih beli jangan makan bakso pagi-pagi. Ada bawa tas? Baju lengkap? Terus alat tulis adah? Kalau nggak ada, beli aja di kantin. Lengkap kok. Dijamin deh! Okey, silahkan masuk” jelas seorang gadis berkaca mata dan berkulit putih.
Yang dicandai hanya berdiri mematung didepan pintu. Yang mencandai kabur karena takut kepada sang gadis bermata coklat itu akan memukulnya. Dan benar saja, aksi kejar-kejaran pun tercipta. Suara riuh menghiasi kelas itu. Suasana kelas yang sepi sangat mendukung mereka karena belum ramai murid berseragam putih biru itu memenuhi kelas. Karena waktu masih menunjukkan pukul 06.40. bel berdentang jika sudah pukul 07.00. ketika mereka sedang asyik berkejaran, teman-teman mereka yang lain mulai berdatangan. Diantaranya ialah Tya, Alysa, Putri, Salsa, Lizzy, Phia, Icha, Ray, Auja, Heny dan Dhara. Gadis-gadis cantik yang selalu membalut kepalanya dengan jilbab itu mengisi bangku dan menyaksikan aksi kejar-kejaran yang tak kunjung usai itu.
“Heh.. jangan kejar-kejaran di kelas, dong. Jangan buat malu kami keles” Phia mulai membuka suara.
“Iya bener tuh kata Phia. Urusan rumah tangga jangan dibawa ke sekolah juga. Selesaikan di kamar nanti” Alysa mulai menggoda mereka. Seperti biasa.
Sadar bahwa mereka tengah diserang lautan komentar sahabatnya, mereka sepakat untuk balik mengerjai. Sang gadis bermata coklat itu bernama Citra. Nama yang cantik, secantik orangnya. Sedangkan yang satu lagi bernama Asya. Wajahnya imut dan jahil namun baik. Beberapa saat kemudian, mereka semua larut dalam sebuah keceriaan pagi yang sederhana. Memang benar kata orang, tak perlu mencari orang yang sempurna untuk bahagia, cukup cari orang yang mampu membuat kita mengerti bahwa bahagia itu sederhana.
Waktu menunjukkan pukul 07.00. dan bersamaan dengan itu, dering bel mulai bergema. Kebehagiaan membuat mereka tak merasakan apa-apa. Senyum dan tawa kebahagiaan selalu tersungging dalam bibir mereka. Menambah anggun wajah mereka. Masya Allah..
“Udah, ah. Capek tau. Kerasa nggak?” tanya Lizzy.
“Iya. Ih, gila! Capek banget” Salsa menyahut.
“Eh, Sya. Nggak capek apa? Keringet udah segede jagung gini” Putri yang paling kencang berlari mulai mengeluarkan suaranya.
“Halah.. jangan Tanya deh, sama Asya, dia mana kerasa, orang badannya aja kebenyakan lemak. Pasti nggak kerasa” Ray yang terkenal paling jahil di antara mereka mulai menggoda Asya yang terkenal paling memerhatikan kesehatan tubuhnya.
“Hah?! Lemak?! Berarti gendut dong?? Duh.. gimana nih? Eh, bantuin ngapa? Jangan ngehina aja kerjaannya. Eh, Dhara, gendut ya? Banget?” pas seperti keinginan Ray untuk membuat wajah khawatir Asya. Benar-benar usil!
“Iya” ujar Dhara pendek. Ia memang dikenal sebagai sosok yang pendiam dan tak terlalu berkomentar atas suatu masalah. Namun sebenarnya ia sangat peduli.
“Ih, Dhara! Komen apa gitu. Jangan cuma bilang iya aja” sahut Auja
“Bener tuh kata Auja, Dhar. Jadi orang tuh jangan kalem gitu. Sok kalem yang ada” Heny membenarkan kalimat Auja sambil menepuk pundak Dhara pelan.
“Kalau aku cerewet, nanti ngalahin Asya. Males, ah bersaing gitu” jawab Dhara dengan wajah polosnya.
Begitulah mereka. Saling membahagiakan. Bercanda. Membuat burung-burung cemburu. Membuat embun pagi itu tak ingin gugur. Membuat daun-daun muda itu makin melekat erat pada sang dahan pohon. Ingin menyaksikan para insan itu bercanda dengan balutan cinta dan kasih.
Pada hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa mereka lakukan. Mereka menghabiskan seluruh harinya dengan suatu kebahagiaan yang sulit diartikan dengan kata-kata. Bahagia yang sederhana. Karena mereka yakin bahagia yang berlebihan dapat membutakan hati. Membuat lupa bahwa yang manis itu sementara. Maka dari itu mereka tetap belajar dengan tekunnya. Diiringi oleh tawa tanda cinta kepada sahabat karena-Nya.
Dan kini, kebersamaan semu itu menghantarkan mereka pada saat dimana raga harus terpisah oleh jarak dan waktu. Sebuah perpisahan. Yang membuat tangis haru ketika pakaian toga mulai melekat dalam tubuh mereka dan tali pada topi itu bergeser ke kanan. Itu tangis yang sesungguhnya. Tangis haru. Karena waktu yang singkat dan kebersamaan secara nyata itu harus diakhiri demi menaiki tangga yang lebih tinggi menuju bintang di langit.
“Baiklah, tiba saat yang ditunggu-tunggu. Yaitu penyerahan sertifikat hafalan tahfidz dan penggeseran tali pada topi toga yang mereka kenakan. Kita panggilkan para putri-putri harapan bangsa, yang pertama adalah Putri Salbila! Kepada putri kami persilahkan.” ujar MC memanggil nama putri diiringi sorakan penonton dan tangis haru para sahabat. Yang lain pun menanti gilirannya.
“Yang kedua, Lizzy Az-Zahra!”
“Yang ketiga, Geubrina Ray!”
“Selanjutnya adalah, Asya Humaira!”
“Lalu mari kita panggil, Henyanti!”
“Mari kita panggil, Rauza Shara Salsabila!”
“Selanjutnya, Zahratul Dhara!”
“Alysa Sintia!”
“Phia Delvina!”
“Risa Nurul Hasna!”
“Tya Alicia!”
“Silahkan naik ke atas panggung, Citra Andini!”
“Dan yang terakhir, Syifa Shara Salsa! Dengan berakhirnya pemanggilan para putri SMP Islam Al-Hikmah pada hari ini…”
Acara wisuda telah lama berlalu. Namun 13 wanita itu masih enggan beranjak dari gedung itu. Mengabadikan berbagai foto lalu menatap langit. Mata mereka mulai menghangat. Perlahan meneteskan air mata. Semua orang pasti terhenyuh atas situasi mereka. Hening namun menghanyutkan. Memang pada nyatanya, setiap kepingan kisah itu pasti memiliki ujung.
“Kini tiba saatnya, bukan? Kita akan pergi menuju cita-cita kita masing-masing. Semoga suatu saat nanti, sebuah kisah berujung ini akan mempertemukan kita lagi. Berjanjilah..” lirih Citra.
“Ya, kita semua berjanji” ucap mereka bersama. Sambil merekatkan janji kelingking. Itulah janji mereka. Yang setiap hembusan angin menyaksikannya..
Cerpen Nomor 6:

Ternyata Dia



Aku berdiri mematung sambil membelalakkan kedua mataku setelah melihat seseorang yang membukakan pintu untukku duduk di kursi roda. Apa aku salah rumah dan salah orang? Mungkin aku sepertinya memang salah rumah dan salah orang. Tapi…
“Hai, Karin. Masuk yuk!” Cowok itu mempersilahkanku masuk ke dalam rumahnya. Aku berusaha menutupi keterkejutanku setelah melihat keadaannya itu, tapi gagal.
“Maaf, kamu Reno, kan?” Aku mulai membuka suara setelah pantatku duduk di sofa empuk yang ada di ruang tamu rumahnya.
“Ya, ini aku Reno!” Ucapnya sambil tersenyum manis padaku.
“Silahkan diminum dulu minumannya, aku udah buatin kamu jus alpukat. Itu kan minuman kesukaanmu?” Reno mendekatkan jus alpukat yang tersedia di atas meja ke hadapanku. Aku mengambilnya sambil terus memperhatikannya yang juga sedang memperhatikanku.
“Maafkan reaksi aku yang berlebihan tadi ya!” Ucapku yang lebih rileks setelah jus alpukat dingin itu membasahi tenggorokanku.
“Gak apa-apa kok, aku sudah biasa mendapat reaksi yang seperti itu.” Reno menjawab dengan santai dan kembali tersenyum padaku.
Dia setampan foto profil linenya. Wajahnya putih bersih dengan tahi lalat di ujung hidungnya yang mancung. Tubuhnya ideal untuk ukuran seorang laki-laki. Suaranya enak didengar, sama seperti yang sudah sering aku dengar di telepon. Semuanya sama seperti yang aku bayangkan, kecuali dengan kursi rodanya itu.
Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Reno, setelah sebelumnya kami berkomunikasi di line, maupun di pesan singkat. Awal mulainya aku kenal dengannya itu karena Abi, sepupuku, yang merupakan temannya di sekolah. Dengan sengaja dia memberikan nomor teleponku kepadanya tanpa beralasan. Dia hanya bilang padaku iseng-iseng berhadiah. Sepupuku yang usianya hanya berbeda enam bulan dariku ini memang jail, tapi walaupun begitu aku sudah menganggapnya sebagai kakakku sendiri.
Pertama, Reno say hai padaku sebagai perkenalan kami di pesan singkat. Kedua, dia sering mengomentari foto profil lineku setiap kali aku menggantinya. Awalnya aku tidak menanggapinya, tapi setelah aku mencoba membalas setiap pesannya ternyata mengasyikkan juga mengobrol dengannya. Sampai akhirnya kami dekat walau hanya melalui handphone. Dia sering meneleponku. Kami bercerita tentang diri masing-masing.
Yang aku tahu dari Abi tentang Reno selain dari dirinya sendiri adalah dia menjabat sebagai kapten basket di sekolah dan aktif di berbagai kegiatan ekstrakulikuler juga osis. Aku pernah menanyakan padanya semua yang Abi ceritakan padaku tentang dirinya, namun dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku menanyakan itu. Sekarang aku mengerti, mengapa dia selalu begitu setiap kali aku menanyakan itu padanya. Dan mengapa ia menolak untuk kuajak bertemu di suatu tempat saat pertama kali aku mengusulkan tempat pertemuan kami, sebelum akhirnya kami sepakat rumahnya yang menjadi tempat pertemuannya. Karena ternyata dia berkursi roda, dan Abi sudah membohongiku tentang dirinya. Bagaimana mungkin dia bisa bermain basket dengan kursi roda di sampingnya?
Seminggu yang lalu aku bercerita pada Reno bahwa sekolahku akan mengadakan pensi atau pentas seni untuk merayakan ulang tahun sekolah. Semua murid yang datang harus membawa pasangannya masing-masing. Pasangannya tidak ditentukan, boleh dengan siapa saja. Aku mengajaknya datang kesana untuk menjadi pasanganku, karena aku tidak mempunyai pasangan saat datang ke sekolah nanti. Semua teman-temanku sudah mempunyai pasangan, sedangkan aku? Jangankan pasangan untuk datang ke sekolah nanti, pacar pun tidak punya. Aku tidak tertarik dengan teman laki-lakiku yang ada di sekolah meski wajah mereka sama tampannya dengan Reno, bahkan ada yang melebihi itu.
Anehnya, malah adik kelasku banyak yang menyukaiku. Sudah banyak di antara mereka yang menembakku untuk mengungkapkan perasaannya itu. Aku tak menyangka dan mengerti akan seperti itu, sudah beraninya mereka menembakku yang merupakan seniornya. Tidak ada catatan dalam hidupku untuk mempunyai pasangan yang lebih muda dariku. Kesannya kami hanya terlihat seperti adik kakak, bukan sebagai pasangan, karena usia kami yang tidak seimbang.
Aku menceritakan semuanya pada Reno, dan dia mau kuajak mendatangi acara pentas seni di sekolahku. Sebelumnya kami sepakat untuk bertemu di rumahnya yang tidak jauh dari rumahku. Ternyata rumahnya yang sering aku lewati setiap kali berangkat sekolah. Tapi aku tidak pernah sama sekali melihatnya, karena dia sekolah asrama. Dia hanya bisa pulang ke rumah setiap kali liburan semester kenaikan kelas. Saat inilah, aku bertemu langsung dengannya yang sudah kembali ke rumah.
“Hei, kok melamun?” Reno melambaikan tangannya ke wajahku dan membuatku tersadar dari lamunanku.
“Kamu cantik, senang deh bertemu denganmu!” Reno memujiku, seperti komentarnya yang sering dia katakan setiap kali aku mengganti foto profil lineku.
“Kamu juga, aku juga senang bertemu kamu!” Aku balas memujinya.
“Yeh, kecuali dengan kursi roda ini kan? Kamu gak keberatan kan aku dengan kursi roda?” Reno menatapku dalam-dalam, aku menatapnya balik.
“Kenapa aku harus keberatan? Gak ada yang salah dari kamu walau harus dengan kursi roda. Maafkan sikapku tadi. Jujur, aku sama sekali gak pernah membayangkan kamu berkursi roda. Salah kamu sendiri kan, karena kamu gak pernah menyinggung tentang ini.”
“Jadi, kamu masih mau pergi ke acara pentas seni sekolahmu denganku?” Tanya Reno.
“Kenapa nggak?” Jawabku mantap. Reno tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.
Kami pun beranjak ke luar dari dalam rumahnya. Aku membantu mendorong kursi rodanya sampai kami berhenti di tepi jalan menunggu taksi yang datang. Menunggu sekitar lima menit, akhirnya terlihat taksi yang berlalu dari kejauhan sana. Aku langsung melambaikan tangan, memberhentikan taksi itu. Taksinya pun berhenti. Si sopir membantu Reno menaiki taksinya itu, dan melipat kursi rodanya untuk ditaruh di bagasi. Aku masuk dan duduk di samping Reno.
Taksi melaju dengan sedang menuju sekolahku. Sepanjang perjalan aku dan Reno berlatih bernyanyi yang sudah kami sering lakukan di telepon untuk pementasan nanti. Di pensi itu juga ada penampilan dari para murid yang ada di sekolah berdua dengan pasangannya. Sesekali Reno tertawa mendengar suaraku yang terbilang kurang bagus didengar saat bernyanyi. Jelas saja, aku sama sekali tidak berbakat dalam hal bernyanyi. Sangat senang bisa berada di sampingnya saat ini, dan aku hampir lupa dengan keadaannya yang berkursi roda itu.
Dua puluh menit kemudian, kami tiba. Si sopir taksi itu kembali membantu Reno turun dari taksinya untuk duduk di atasnya. Kemudian, aku mendorongnya melewati halaman sekolah menuju aula yang sudah dipenuhi banyak orang. Di antara mereka itu ada teman-temanku yang sudah berdua dengan pasangannya masing-masing.
Aku mengernyitkan dahiku ketika di pertengahan jalan melihat seorang cowok yang wajahnya tidak asing buatku yang menjadi pasangan temanku. Aku mendorong Reno lebih cepat lagi agar bisa mengetahui siapa cowok itu.
“Hai, Karin, Reno!” Ia menyapa ketika kami tiba. Abi. Ternyata cowok itu Abi. Kenapa dia ada disini dan menjadi pasangan temanku?
“Abi, kamu kok ada disini?” Tanyaku yang masih kebingungan dengan kehadirannya disini dan menjadi pasangan temanku.
“Surprise! Hahaha..” Abi menjawab dengan merentangkan kedua tangannya.
Aku langsung menariknya menjauh dari yang lain tanpa mempedulikannya yang sedang kebingungan dengan sikapku itu untuk menanyakan padanya kenapa ia tidak bilang padaku kalau keadaan Reno seperti itu, bukan menanyakan kembali padanya mengapa ia ada disini.
“Kenapa kamu nggak bilang sih kalau Reno iii..ttt..tttuuu..?” Aku mengatakan kata itu dengan terputus-putus karena sadar tidak seharusnya aku melanjutkan ucapanku.
“Berkursi roda? Iya? Jadi kamu gak menerima dia apa adanya?” Dengan cepat Abi tahu apa yang aku ingin lanjutkan dari ucapanku tadi.
“Bukannya gitu Bi, setiap perempuan pasti menginginkan pasangannya yang sempurna, begitu juga dengan aku.” Ucapanku ini benar-benar merendahkan Reno secara tidak langsung.
Abi hanya terdiam mendengarkannya. Kemudian, ia melihat Reno yang sedang bersalaman dengan teman-temanku sebagai perkenalannya. Nampaknya ia seorang yang mudah bergaul dengan siapa saja, ia terlihat sudah akbrab dengan mereka meski sebelumnya tidak saling kenal. Menggandeng cowok setampannya memang keinginanku sejak dulu, tapi aku tidak pernah menyangka dia berkursi roda.
“Hei, Karin. Teman-teman kamu baik ya! Aku senang deh bisa kenal dengan mereka.” Ucap Reno ketika aku dan Abi kembali. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya itu. Syukurlah, teman-temanku bisa menerima keadaan Reno yang seperti itu.
Sepuluh menit kemudian, acaranya pun dimulai. Pembawa acara yang merupakan siswi sekolah ini sekaligus kakak kelasku membuka acaranya yang sudah berdiri di tengah panggung yang tidak terlalu megah yang berada di lapangan. Aku dan yang lainnya berada di ruangan khusus mempersiapkan diri untuk tampil nanti.
Beberapa rangkaian acara sudah berjalan dengan baik. Kini saatnya penampilan kami, para murid yang ada di sekolah. Yang lain sudah berjalan lebih dulu menuju ke atas panggung, semetara aku dan Reno masih mempersiapkan diri. Aku jadi ragu untuk tampil bersamanya. Aku takut yang lain merendahkannya saat melihatnya di atas panggung nanti. Tapi, setelah melihat kepercayaan dirinya aku juga jadi ikut percaya diri dan rasa ragu yang sedang kurasakan pun menghilang.
Dengan semangat, aku mendorongnya mengeluari ruangan yang kami tempati tadi menuju ke atas panggung. Sebelum sampai sana, aku berpapasan dengan adik kelasku yang sedang mengobrol dengan temannya.
“Kak Karin, kakak sama siapa? Kenapa kakak nggak sama aku aja yang bisa berjalan dan berdiri tegak gak seperti dia?” Ryan berkata sambil terus melihat ke arah kaki Reno.
Mendengar itu, Reno langsung mengulurkan tangannya kepada Ryan.
“Aku Reno, pacarnya Karin.”
Aku membelalakkan mata pada Reno setelah mendengar ucapannya itu. Pacar? Sejak kapan?
“Dia benar pacar kakak? Kenapa kakak gak menerima aku sebagai pacar saat aku menembak kakak dulu, padahal aku lebih sempurna dari dia?” Ryan mengungkit kembali saat dia menembakku dulu sambil merendahkan Reno lagi dan lagi. Aku menolaknya dengan alasan dia adik kelasku. Aku sudah bilang padanya bahwa aku tidak mau mempunyai pasangan atau pacar yang lebih muda dariku, tapi dia tetap saja mengejarku sampai sekarang.
“Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku gak mau punya pacar yang lebih muda dariku. Udah cukup, jangan mengejarku lagi. Kamu hanya kuanggap sebagai adikku saja.” Aku langsung mendorong Reno pergi meninggalkannya ke luar sekolah menuju tempat yang sepi tanpa ada orang-orang yang bisa melihat kami. Langkah untuk menuju panggung pun tidak dilanjuti lagi. Padahal, di penghujung acara nanti ada grup musik atau band yang sudah terkenal di kalangan remaja saat ini. Aku ingin sekali melihat penampilannya, tapi aku tidak ingin Reno direndahkan terus menerus seperti tadi.
“Maafkan sikap adik kelasku tadi ya, aku gak menyangka dia akan bersikap seperti itu sama kamu.” Amarahku lebih reda setelah kami tiba di taman yang tidak jauh dari sekolah.
“Aku kan sudah bilang, aku sudah terbiasa dengan orang yang bersikap seperti itu padaku.” Lagi dan lagi Reno menjawabnya dengan santai sambil menatap langit yang bertabur bintang-bintang. Aku tersenyum, dan juga mengikuti arah tatapannya.
“Indah ya!” Katanya.
Aku tersenyum kembali mendengarnya. Selama semenit, pandangan kami tidak lepas dari apa yang sedang kami lihat di atas langit yang indah.
“Reno, aku boleh tahu, kenapa kamu..?” Dengan sangat hati-hati aku mengajukan pertanyaan yang ingin kutanyakan dari awal aku bertemu padanya.
“Kenapa aku di kursi roda? Kamu mau tahu ya?” Reno malah berbalik tanya padaku. Aku mengangguk sebagai jawabannya.
“Malam ini terlalu indah untuk dirusak, boleh gak kalau kita gak ngomongin masalah itu sekarang?” Katanya yang kembali menatap langit.
“Maaf ya, maafkan aku juga udah ngebatalin untuk tampil di pensi tadi. Padahal, kita kan udah berlatih cukup lama.”
“Gak apa-apa Karin, udah bisa bertemu denganmu saja itu lebih menyenangkan daripada yang lain.”
Kami pun tenggalam dalam obrolan yang membuat kami lupa waktu hingga larut malam.
“Sepertinya pensinya udah selesai.” Kataku yang melihat orang-orang sedang berjalan dari arah sekolah.
“Pulang yuk!” Ajakku.
“Karin, kamu masih mau bertemu denganku lagi Kan?” Tanya Reno.
“Pastinyalah, mana mungkin aku gak mau bertemu dengan kamu setelah malam ini?” Jawabku.
“Yakin? Kamu gak malu punya pacar yang cacat kaya aku?”
“Pacar? Sejak kapan kamu nembak aku?”
“Sekarang! Karin, kamu mau gak jadi pacar aku?” Reno berkata sambil menggenggam kedua tanganku.
Aku tertunduk sambil tersenyum malu saat dia menembakku.
“Iya, aku mau!” Aku menjawab dengan senyuman.
“Kita kaya di sinetron-sinetron aja ya! Tapi yeeeyyy, sekarang aku punya pacar yang cantik dan baik hati. Hahaha..” Reno tertawa lepas, aku pun begitu.
Saat sedang asyik-asyiknya tertawa, tiba-tiba ada banyak suara tepukkan tangan dari belakang kami.
“Cieee, selamat ya!” Ternyata itu Abi dan yang lainnya. Darimana mereka tahu kami ada disini?
“Kalian?” Kataku tak menyangka.
“Pokoknya, kamu dan Reno harus traktir kita semua makan malam ini!!” Kata Abi.
“Tenang aja, aku yang akan traktir kalian semua.” Dengan cepat Reno mengajukan diri untuk mentraktir mereka semua.
“Nggak, aku gak setuju. Lagi pula Reno kan baru pulang dari sekolahnya, pasti gak punya banyak uang.” Dengan tegas aku menolaknya.
“Gak apa-apa Karin, aku sudah merencanakan semuanya Kok.” Reno berkata dengan santai.
Merencanakan? Merencanakan apa? Aku hanya bisa diam mendengar ucapannya itu karena tidak mengerti dengan semuanya.
“Tunggu apa lagi? Ayo berangkat!” Kata Abi yang sudah tidak sabaran.
“Tunggu sebentar.” Reno menghentikan yang lain yang hendak berjalan menuju rumah makan, juga membuatku menghentikan mendorong kursi rodanya.
“Ada apa?” Tanyaku.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Reno langsung menurunkan kakinya ke jalan dan bersiap-siap untuk berdiri dan melangkahkan perlahan-lahan kakinya di jalan. Aku yang berada di belakangnya membelalakkan mata melihatnya bisa berdiri tegak dan berjalan seperti itu, yang tadinya hanya bisa duduk manis di kursi roda.
“Reno, kamu?”
“Maaf, dari tadi aku cuma pura-pura aja buat nguji kamu. Kamu lulus ujiannya. Hahaha.”
“Ah.. kamu jail!!” Aku menghujaninya dengan pukulan yang bertubi-tubi, sedangkan ia tertawa terbahak-bahak. Yang lain juga tertawa terbahak-bahak melihatnya, terutama Abi.
“Jadi, ini termasuk rencana kamu juga?”
“Iya, hahaha.”
“Kenapa kamu jadi ikut-ikatan jail seperti Abi sih?”
“Hehehe, maaf Karin.”
“Maafkan aku juga ya sudah membohongi kamu sepupuku yang cantik.” Kata Abi.
“Nggak, kamu bukan sepupuku lagi.” Aku mengalihkan wajahku darinya karena kesal dia sudah membohongiku. Tapi itu hanya becandaku saja.
“Jangan marah, maaf ya!” Abi mendekapku ke dalam pelukannya, sementara aku memukulinya seperti aku memukuli Reno tadi.
“Aku sempat kaget banget saat melihat Reno tadi Bi, karena kamu gak bilang kalau dia berkursi roda.” Kataku.
“Tapi sekarang kamu senang kan, ternyata dia sempurna seperti yang kamu lihat sebelumnya.” Ucap Abi.
Ya, benar. Dia sempurna seperti bayanganku sebelumnya. Ternyata dia hanya berpura-pura. Semua yang Abi ceritakan padaku tentang dirinya itu benar. Namun dia tidak mau sombong, sehingga dia selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali aku menanyakan itu padanya.
Kemudian, kami pun berjalan menuju rumah makan yang berada sekitar beberapa langkah dari tempat kami ini. Reno merangkulku. dia cukup tinggi, sama seperti Abi. Aku hanya sedadanya saja.
Masalah Abi dan temanku yang menjadi pasangan, ternyata mereka sudah berpacaran sebulan yang lalu. Temanku ini ternyata sepupunya Reno, sama sepertiku dengan Abi yang bersepupuan. Mereka kenal melalui facebook. Abi menambahkannya sebagai teman di akun facebooknya melalui pertemanan facebookku. Melalui proses yang sama sepertiku, sering mengobrol melalui telepon, akhirnya mereka jadian. Karena itu, Abi dan teman-temanku terlibat dalam rencananya Reno ini. Pantas saja mereka tidak terkejut sepertiku saat melihat Reno menurunkan kakinya dari kursi roda, ternyata mereka semua sudah tahu bahwa ia hanya berpura-pura. Aku memarahi mereka karena sudah ikut-ikutan dalam semua ini. Tapi mereka malah mentertawaiku, begitu juga Abi dan Reno. Aku kesal karena sudah dibohongi seperti ini. Tapi aku juga senang, karena tahu Reno itu hanya berpura-pura memakai kursi roda. Walau Reno memang benar memakai kursi roda, aku tetap menerimanya. Aku sudah jatuh cinta padanya, karena cinta tidak memandang segala kekurangan yang ada pada pasangan kita.
Cerpen Nomor 5:

Kaukah Itu?



“Oke, waktu kalian tiga menit untuk menghafal semua kata ini dari sekarang” Nafisa memberikan penjelasan kepada anak-anak yang tengah duduk di hadapannya. Sesekali dirinya melirik ke arah teriknya matahari. Memastikan bahwa anak-anak ini tidak akan kepanasan. Sesekali juga dirinya melihat ke arah bisingnya suara klakson kendaraan. Begitu bising. Panas. Dirinya merasa seperti ikan asin yang tengah dijemur. Sudah tidak ada lagi tempat teduh untuknya. Karena tempat teduh itu hanya cukup untuk anak-anak.
Nafisa memandangi anak-anak itu. Mereka begitu bersemangat untuk belajar. Suara bising klakson bahkan panas mataharipun tidak akan menyurutkan semangat mereka. Meskipun langit dan rumput tamanlah sekolah bagi mereka. Namun senyum dan tawa mereka tetap merekah. Nafisa masih ingat betul bagaimana sulitnya dulu ia meyakinkan anak-anak itu tentang pentingnya belajar. Mendapat celaan. Namun kini mereka berkumpul. Belajar bersama. Meski mereka tetap menjalani hidup mereka sebagai anak jalanan. Mengamen. Menjajakan Koran. Namun tetap mendapakan hak mereka sebagai anak Indonesia. Pendidikan. Dan hari ini dirinya tidak akan menyerah oleh sang surya.
Nafisa melihat ke arah jam tangannya. Tiga menit sudah berlalu. “Oke semuanya, waktunya sudah habis. Sekarang siapa yang mau maju duluan untuk menghafal?” tanya Nafisa pada anak-anak itu. Dirinya menunggu sebuah jawaban. Namun mereka diam. Hening. Berharap akan ada suara yang mengajukan diri. Namun tidak ada. “Baiklah, kakak akan menunjuk satu di antara kalian untuk maju”
“Jangan kak!” akhirnya sebuah suara terdengar. Seorang bocah laki-laki dekil yang duduk tepat di depannya. “Jangan kak! Kita belum hafal. Lebih baik kita hafalinnya bareng-bareng aja”, pinta bocah itu pada Nafisa.
“Waktu tiga menit masak kalian belum hafal sih. Ya udah kakak beri tambahan…” Ponselnya tiba-tiba berdering. Dering ponsel dalam saku roknya memotong pembicaraannya. Tangannya langsung meraih ponsel dalam saku roknya. Sebuah panggilan bertuliskan “BOSS” tertera di layar ponselnya. Nafisa langsung berjalan beberapa langkah. Menjauh beberapa meter dari anak-anak itu.
Ada apa Bu Arini menelpon. Adakah sesuatu? Bukankah aku sudah mengatakan untuk mengambil cuti selama seminggu. Pikirnya dalam hati.
Segera Nafisa menjawab telepon itu. “Halo. Assalamualaikum Bu…”
“Halo. Waalaikumsalam Nafisa. Kamu pasti bingung kenapa saya menelepon kamu. Begini ada seorang fotografer dari Jerman yang datang ke Indonesia. Dan pihaknya meminta kita mencarikan guide untuknya. Jadi terus terang saja, saya ingin kamu kerja lagi. Jangan ambil cuti” potong sebuah suara dari seorang wanita yang berada di seberang teleponnya. Berbicara panjang lebar tanpa jeda.
Nafisa terdiam. Guide lagi? Tanyanya dalam hati. “Maksudnya saya yang jadi guide untuk fotografer itu?” jawabnya setelah dirinya diam sejenak.
“Yup”, sebuah jawaban singkat dan tegas dari wanita itu.
“Tapi saya sudah meminta ijin untuk cuti dan…”
“Saya tahu. Tapi perusahaan kita sudah terlanjur terikat kontrak dengan pihaknya. Dan hanya kamu guide yang cocok dengan kriteria yang mereka ajukan. Jadi saya ingin kamu yang menjadi guide untuknya. Saya tidak ingin mendengar kata tapi lagi. Saya akan segera mengirimkan biodata dan foto dari fotografer itu. Nafisa saya harap kamu bisa mengerti. Oh iya, sebaiknya kamu harus bersiap hari ini. Karena besok pekerjaan kamu dimulai. Dan satu lagi, dia seorang laki-laki. Assalamualaikum” potong wanita itu lagi. Menjelaskan dengan panjang lebar. Tanpa jeda. Dan langsung menutup teleponnya.
“Waalaikumsalam” hanya kata itu yang sempat Nafisa ucapkan sesaat setelah wanita itu menutup teleponnya.
Apa? Laki-laki? Menjadi guide untuk turis laki-laki? Tanyanya dalam hati. Dirinya bingung setelah mendengar penjelasan terakhir dari Bu Arini. Kata laki-laki membuat dirinya terdiam. Berpikir. Bagaimana mungkin? Bukankah perjanjianku hanya menjadi guide khusus turis perempuan? Tapi kenapa laki-laki diserahkan padaku? Nafisa terus bertanya-tanya dalam hatinya.
Ttttiiiiinnn!!!! Suara klakson mobil yang begitu keras mengejutkan Nafisa. Dirinya terperangah. Sadar bahwa sedari tadi dia hanya diam berdiri tanpa arah.
Nafisa kembali menuju anak-anak. Langkahnya begitu berat. Entahlah. Nafisa merasa dirinya harus mengatakan hal yang sulit.
“Maaf. Tadi lama ya”, ucapannya begitu berat. “Tadi sampe mana? Oh iya, kakak akan memberikan waktu dua menit lagi untuk kalian menghafal semua kata ini” lanjutnya.
Nafisa terdiam. Dirinya memandangi anak-anak itu. Keseriusan mereka dalam belajar membuat Nafisa berat hati untuk membatalkan janjinya dengan mereka. Entah kata apa yang tepat yang harus dia ucapkan kepada anak-anak itu nantinya.
Nafisa merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Rasanya begitu nyaman. Matanya memandang ke langit-langit atap kamarnya. Wajahnya terlihat sedang memikirkan suatu hal. Memikirkan anak-anak itu. Ada dua tanggung jawab yang ada di pundaknya saat ini. Mereka. Dan pekerjaannya. Dan hari ini, entah sudah kali keberapa dirinya harus mengecewakan mereka. Mengingkari janji yang telah dia buat dengan anak-anak itu. Sebuah janji untuk mengajari mereka selama seminggu penuh. Dan wajah kekecawaan dari anak-anak itu telah membayangi pikiran Nafisa saat ini.
Line. Bunyi ponsel Nafisa menghentikan lamunannya. Dirinya langsung meraih ponsel yang ada di dekatnya. Sebuah pesan dari sebuah nama yang bertuliskan “BOSS” tertera di layar ponselnya. Nafisa segera membuka pesan itu.
“Ini biodata dan fotonya. Fotografer itu hanya akan mengunjungi dua tempat. Bromo dan Karimunjawa. Perjalanan kamu akan dimulai besok. Saya harap kamu bisa menjadi guide yang baik untuknya.” Itulah isi pesan singkat bossnya, Bu Arini.
Sebenarnya Nafisa enggan untuk menerima tawaran ini. Namun itu adalah pekerjaannya. Tanggung jawabnya. Dan dengan berat hati dia mengiyakan tawaran ini.
“Iya, terimakasih Bu Arini”. Begitulah Nafisa membalas pesan itu. Nafisa tidak ingin menanyakan kenapa harus dirinya. Karena dia tidak ingin berdebat dengan wanita yang telah banyak membantunya.
Segera Nafisa membuka foto turis pria itu. Foto apa ini? Hanya foto pemandangan pegunungan dengan hamparan padang rumput luas dan seorang pria berdiri dengan memalingkan wajahnya sambil membawa kamera? Bahkan wajahnya pun tidak terlihat jelas. Bagaimana aku bisa menemui pria ini? Celotehnya dalam hati. Kemudian Nafisa pun membuka biodata turis pria itu.
Name/age: Alex Anderson/24 years old
From: Germany. Photographer for nature.
Seketika Nafisa terkejut. Alex Anderson? 24 tahun? Tanyanya dalam hati. Sekilas nama itu mengingatkannya pada seorang laki-laki. Seseorang yang pernah dia temui beberapa tahun lalu. Tepatnya seseorang yang pernah dia kenal lewat sosial media. Seseorang yang pernah menempati ruang di hati Nafisa. Namun, laki-laki itu telah menghilang dari ketidaktahuannya. Dan dirinya selalu bertanya-tanya. Karena setelah itu, Nafisa tidak lagi bisa menemukannya di sosial media manapun.
Nafisa kembali membuka foto turis pria itu. Nama dan usia yang sama. Jerman? Sedangkan dia dari Amerika bukan Jerman. Tapi, kau kah itu? Tidak mungkin! Begitu banyak laki-laki yang bernama Alex Anderson di dunia ini. Mana mungkin takdir akan membawanya kepadaku dan juga sebaliknya. Pikirnya. Konflik batin yang dialaminya saat ini membuatnya terus berpikir. Berulang kali dirinya mencoba untuk mengenali wajah pria dalam foto itu. Namun, tetap saja tidak bisa. Karena wajah pria itu tidak terlihat jelas. Atau bahkan memang tidak jelas.
Tidak! Kenapa aku teringat lagi olehnya. Astaghfirullah Nafisa! Nafisa menghempaskan ponselnya ke tempat tidur. Dirinya tersadar. Mencoba membenahi pikirannya dan juga perasaannya.
Suara azan maghrib menyadarkan Nafisa. Dia pun langsung ke luar dari kamarnya untuk mengambil air wudhu. Kemudian Nafisa segera mendirikan salat.
Setelah melaksanakan salat, Nafisa memanjatkan doa. Tangannya menengadah. Tanpa sadar dia mendapati air matanya telah membasahi pipinya. Dirinya menangis.
‘Wahai dzat yang Maha membolak-balikan hati. Jika sekiranya dia tidak ditakdirkan untukku, dan aku tidak pula untuknya, maka jauhkanlah diriku dari memikirkannya dan jauhkanlah dirinya dari memikiranku’. Doanya dalam hati. Dirinya merasa telah melakukan sebuah dosa. Memikirkan seseorang yang tak seharusnya dia pikirkan. Dan itu adalah zina baginya. Zina hati.
Nafisa terus menangis. Menangis di atas sajadahnya. Sampai akhirnya dia menutup matanya. Dan terlelap tidur di atas sajadahnya.